Memaksakan untuk tetap tinggal ketika dia enggan adalah sia-sia. Mungkin akan terdengar jahat, mengingat semua usahamu untuk membuatnya bisa bertahan sampai sejauh ini. Tetapi, adakah yang lebih menyakitkan dari berjuang sendirian saat tidak ada lagi yang ingin diperjuangkan? Tidak ada. Sesekali cobalah tanya pada dirimu, apa yang kau takutkan untuk sekedar melepasnya. Mungkin saja ketakutanmu hanya tentang kebiasaan. Kau hanya telah terbiasa bersamanya. Kau hanya takut, tanpa dirinya ritme hidupmu tidak akan sama lagi.
Ya, tentu saja. Menjalani hidupmu yang tanpa ada dia didalamnya tidak akan pernah sama rasanya. Tetapi tidak ada cara terbaik untuk merubah kebiasaan selain menggantikannya dengan kebiasaan baru. Tidak ada yang salah dari memulai dari awal lagi. Kau hanya perlu membiasakan hidup barumu yang tanpanya. Meyakinkan dirimu bahwa semuanya akan baik-baik saja, ada atau tanpanya.
Kenangan itu mungkin akan terlalu sulit untuk sekedar diabaikan. Setiap inci dari semestamu seakan mengabarkan bahwa dia pernah ada disini, sangat dekat denganmu. Hingga kau bisa merasakan hembusan nafasnya. Hingga seolah-olah jantungnya yang berdetak dalam tubuhmu. Kau sebenarnya tidak sendirian berjuang untuk melupakan. Di sudut sana, dia pun sedang berusaha. Bedanya, dia yang memilih untuk mengakhiri. Bedanya, dia yang akan menanggung semua rasa bersalahnya, sementara kau tidak.
Dan pada akhirnya, tidak ada yang benar-benar bisa menyembuhkan setiap luka selain waktu. Kelak, suatu hari nanti, saat kau berpapasan dengannya disuatu sudut jalan, kau akan mengembangkan senyum tulusmu. Semua patah hati yang kau lalui telah menjadikanmu pribadi yang lebih baik. Kelak, kau akan menyadari bahwa semua kenangan yang pernah kau tangisi begitu dalamnya saat ini, hanyalah bagian dari proses Tuhan untuk mendewasakanmu. Dan saat kau mengingat kenangan itu kembali, kau akan menyadari. Bahwa untuk sebuah kisah yang telah usai, tak perlu ada kebencian lagi di dalamnya.